Sabtu, 05 Februari 2011

Kisah Kisah yang Mengharukan

Mendali Emas Untuk Ayah
“Ayah, terima kasih karena telah menunggi kelahiran aku. Aku akan pulang membawa mendali emas yang seharusnya ayah menangkan. Dari anakmu, Frank”
Itulah bunyi telegram yang diterima Bill havens, mantan atlit dayung terhebat Amerika di era 1920-an. Di era kejayaannya, banyak orang optimis bahwa Bill akan memenangkan tiga mendali emas di olimpiade Paris. Namun beberapa bulan sebelum olimpiade berlangsung, Bill menyadari bahwa isrtinya tengah hamil akan melahirkan pada saat yang bersamaan dengan Olimpiade.
Meski karirnya tengah bersinar, Bill membuat keputusan yang berani. Ia akan menunggui istrinya melahirkan anak pertama mereka dan tidak ikut Olimpiade. Keputusannya berbuah manis. Frank, anaknya, berhasil meraih mendali emas dalam lomba kano. Bill tahu bahwa ia telah mengambil keputusan yang benar.


Lebih Dari Miliarder

Bahkan sejak masih kanak-kanak, aku sudah merasa bahwa Jim adalah jodohku. Ketika kami remaja, kami sering duduk-duduk di kursi depan sambil berkhayal tentang masa depan anak-anak yang akan kami punya, siapa nama mereka dan betapa bahagianya kami nanti.
Jim sering berkata, “aku akan selalu mengasihimu. Aku pasti akan menjadi miliarder umur 30 nanti.”
Aku dan Jim ternyata memamng menjadi suami-istri. Dan Jim memegang teguh ucapannya, dia bekerja sangat keras untuk bisa memenuhi segala keperluan rumah tangga kami. Namun meski ia bekerja keras, hidup kami sederhana. Kami sama sekali bukan orang kaya, apalagi miliarder.
Tiga bulan setelah Jim berulang tahun ke-30, aku melahirkan anak pertama kami. Suatu hari, sambil mengendong anak kami, aku menggoda Jim, “Apa kamu mau kalau anak kita ditukar dengan uang jutaan dollar?”
Jim agak terkejut.”Tentu saja tidak!” katanya, “Anak kita tak ternilai harganya!”
“Kalau begitu aku ucapkan selamat,” kataku, “Engkau lebih dari seorang miliarder karena engkau adalah seorang ayah.”


Walk the Talk
Suatu hari, seorang ibu membawa anaknya datang kepada Ghandi, dan berkata, “Ghandi, maukah engkau menasehati anak saya ini?” Dia mempunyai sebuah penyakit, yang untuk kesembuhannya, dia tidak boleh mengonsumsi garam. Tolong beri nasihat kepadanya untuk tidak makan garam. Saya dan keluarga bahkan dokternya pun sudah berulang kali menasihatinya, namun tolong saya, siapa tahu dia akan menurutimu.”
Dengan tersenyum dan suara lembut Ghandi berkata, “ Ibu, sekarang saya tidak bisa berkata apa-apa, silahkan Ibu pulang dan bawa anak Ibu ke sini minggu depan.”
“Ghandi,” kata Ibu itu, “anak itu di depanmu sekarang, tidak bisakah kamu sekarang menasihatinya?” Ghandi dengan senyum yang selalu di bibirnya hanya menggelengkan kepalanya yang menandakan tidak.
Dengan perasaan campur aduk, ibu itu pulang dan tepat satu minggu mereka berdua ada di hadapan Ghandi. “ Saya sudah menunggu satu minggu, “ kata ibu itu kepada Ghandi, “ sekarang berikan nasihat itu.” Kemudian Ghandi datang mendekat ke anak itu, dan menasehati anak itu untuk tidak makan garam. Apa yang di katakan Ghandi tidaklah istimewa, tidak ada sesuatu yang baru, hanya sebuah nasihat yang sederhana, tidak lebih.
Pada saat itu sang Ibu merasa sedikit kecewa karena dalam penantiannya satu minggu dia berhrap Ghandi akan melakukan seseuatu yang lebih dari pada kata-kata yang biasa.
Tidak lama kemudian, Ghandi meminta ibu dan anak itu pulang, kali ini perasaan ragu-ragu menyelimuti si ibu. Si ibu tidak yakin ini akan berhasil. Namun yang terjadi , anak ini berhenti makan garam. Ibu berpikir mungkin ini hanya akan terjadi satu atau dua hari, tetapi kenyataannya lebih dari itu, anak tersebut total berhenti makan garam selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Didorong rasa penasaran yang tinggi, seorang diri ibu ini menghadap ke Ghandi untuk kalinya dan langsung bertanya:”Ghandi, rahasia apa yang kamu miliki sehingga kamu bisa membiat anak saya berhenti makan garam?” tanya si ibu. “ Kata-kata yang kamu ucapkan adalah kata-kata biasa, saya sering menasehatinya dengan cara yang sama. Menurut saya dokternya menasehatinya dengan cara yang lebih baik, tapi mengapa anak saya menurut kepadamu?”
Dengan lembut gahndi menjawab pertanyaan ibu ini dengan jawaban:”Ibu masih ingat pada kali pertama ibu kesini dan saya meminta ibu datang satu minggu kemudian?”
“Ya itu dia, kenapa, terus terang saya masih penasaran?” Sahut ibu itu dengan cepat.
“Pada saat itu saya belum bisa menasehati anak Ibu untuk tidak makan garam, karena pada saat itu saya masih mengonsumsinya, sepulang ibu saya berhenti makan garam, sampai kemudian ibu datang lagi, baru saya bisa berbicara untuk tidak makan garam kepada anak ibu.”




Tuliskan Semua
Edwin Staton, Mentri Pertahanan kabinet Presiden Lincoln, dikenal dengan temperamennya yang keras dan mudah marah. Perang saudara yang melelahkan semakin memanaskan temperamennya.
Suatu hari ia berkeluh kesah kepada lincoln tentang seorang jendral. Lincoln lalu memerintahkannya untuk menulis sebuah surat, “Bikin jenderal itu tidak berkutik,” kata Lincoln.
Staton sangat senang menerima dukungan sang Presiden. Dengan segera ia menulis semua unek-uneknya. Pendek kata segala kekurangan dan kelemahan si jenderal sudah ditulisnya dengan detail. Ia lalu menunjukan surat itu kepada Lincoln.
“Bagus,” komentar Lincoln,” jenderal itu pasti akan mati kutu.”
Ketika Stanton pamitan, Lincoln bertanya,”Mau diapakan surat itu?”
“Oh, tentu saja akan saya kirim,”kata Stanton.
“Apa!” teriak sang Presiden.” Jangan pernah kau kirimkan surat itu, bakar sekarang juga! Itulah yang saya lakukan tiap kali marah, menulis surat dan kemudian membakarnya. Sudah cukup engkau mencaci dia melalui tulisan. Sekarang, lupakan surat itu beserta isinya,”

Tidak ada komentar: